Senin, 26 Oktober 2015

Terapi Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal


Hipertensi umumnya terjadi dan sulit terkontrol dengan baik pada pasien dengan hemodialisis.  Target tekanan darah yang dijadikan pedoman pada populasi hemodialisis adalah kurang dari 140/90mmHg untuk tekanan darah pra-dialisis dan kurang dari 130/80 mmHg untuk tekanan darah post-dialisis (NKF-K/DOQI, 2005; Pai & Conner, 2009). 
Terapi yang digunakan pada pasien hemodialisis rutin memiliki tujuan utama mencegah manifestasi progresivitas penyakit pada kardiovaskular yang diakibatkan dari hipertensi tidak terkontrol (Hort & Horl, 2002; Rahman & Griffin, 2004).
Risiko gangguan kardiovaskuler pada pasien hemodialisis dicerminkan dengan hipertensi sistolik. Terapi ditujukan untuk mengatasi hipertensi sistolik pra-dialisis dari pada sistolik post-dialisis (Hort & Horl, 2002). Prinsip terapi antihipertensi pada pasien dengan hemodialisis adalah semua jenis obat antihipertensi dapat digunakan dan efektif (dengan mempertimbangkan komorbiditas pasien) kecuali diuretik yang tidak berefek jika fungsi residual berkurang atau tidak tersisa sama sekali . Obat-obat antihipertensi pada umumnya menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan atau menurunkan resistensi perifer. Barorefleks mencakup sistem saraf simpatis yang diperlukan untuk pengaturan tekanan darah yang cepat dari waktu ke waktu, sedangkan ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah volum darah.

Berikut beberapa golongan yang lazim digunakan sebagai terapi antihipertensi pada pasien gagal ginjal :
a.    Calcium-Channel Blockers (CCBs)
Antihipertensi golongan CCBs dibagi menjadi 3 kelompok yaitu CCB dihidropiridin (missal: amlodipin, nifedipin, dan nikardipin), difenilalkilamin (verapamil), dan benzotiazepin (diltiazem). CCBs difenilalkilamin danbenzotiazepin sering disebut sebagai CCBs nondihidropiridin. CCBs mempunyaiefek intrinsik natriuretik, karena itu obat-obat ini biasanya tidak memerlukantambahan diuretik (Hughes et. al., 2001). Golongan dihidropiridin adalah golongan yangumum dipilih untuk pasien gagal ginjal. CCBs preparat aksi panjang adalah obatyang disarankan untuk pasien gagal ginjal pada kondisi hipertensi akibat akumulasicairan. Manfaat yang lain, golongan ini mampu mencegah terjadinya kerusakan organ dan mengurangi risiko kardiovaskular (Rahman & Griffin, 2004). Semua dihidropiridin mempunyai afinitas lebih besar untuk kanal kalsium vaskuler dibanding kanal kalsium di jantung. Karena itu, obat-obat ini lebih baik untuk pengobatan hipertensi. Diltiazem dan verapamil merupakan obat golongan CCBs nondihidropiridin yang disetujui Amerika Serikat. Diltiazem dan verapamil mempunyai efek penting untuk otot polos jantung dan vaskuler serta memiliki efek inotropik negatif dan kronotropik negatif, sehingga obat ini harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung (Pai & Conner, 2009).
b. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
ACEI banyak digunakan pada pasien penyakit ginjal kronik terutama pada pasien denganetiologi diabetes nefropati karena memiliki keunggulan yaitu sebagai pengendali tekanan darah dan menurunkan proteinuria. ACEI juga efektif digunakan pada penatalaksanaan CHF. ACEI menurunkan tekanan darah dengan mengurangi resistensi vaskuler perifer tanpa meningkatkan curahjantung, kecepatan, ataupun kontraktilitas. Obat-obat ini menghambat enzim pengkonversi angiotensin yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang merupakan vasokontriktor. ACEI juga meningkatkan aktivasi bradikinin. Sehingga, vasodilatasi terjadi sebagai akibat efek kombinasivasokontriksi yang menurun disebabkan oleh karena berkurangnya angiotensin IIdan vasodilatasi karena peningkatan bradikinin. Dengan menurunnya kadar angiotensin II yang beredar, ACEI juga menurunkan sekresi aldosteron sehinggamenurunkan retensi natrium dan air.Golongan ini mampu mengatasi hiperaktivitas sistem saraf simpatis denganpersentase kecil (Koomans et al., 2004). Penggunaannya memerlukan monitoringserum kalium darah karena sifatnya yang meretensi kalium dan adanya laporanmengenai timbulnya reaksi anafilaksis jika obat golongan ini digunakan bersamaandengan membran dialisis (AN69) poliakrilonitrit (Pai & Conner 2009). Obat golongan ini secara teoritis mudahterdialisis sehingga efikasi obat akan menurun pada pasien yang sedang dalamproses hemodialisis (Chen et al., 2006). c. Angiotensin II Receptor Antagonist (AIIRA)
Golongan ini memiliki efek menyerupai golongan ACEI dan dapat memberikan suatu alternatif untuk ACEI pada pasien yang mengalami efek samping yang dimediasi oleh kinin. Namun, ternyata efek samping yang samatelah dilaporkan dengan penggunaan AIIRA (Pai dan Conner, 2009). AIIRAmemiliki keunggulan jika dibandingkan dengan golongan ACEI yaitu tidak menghasilkan reaksi anafilaksis sebagaimana pada golongan ACEI. Golongan ini sedikit atau tidak terdialisis sehingga memungkinkan adanya kontrol tekanan darah yang lebih baik pada pasien yang menjalani hemodialisis (Chen et al., 2006).
d. Penyekat Reseptor β Adrenergik (β-blockers)
β blokers bekerja dengan cara menurunkan tekanan darah terutama denganmengurangi isi sekuncup jantung. β blokers juga dapat menurunkan aliran simpatik dari susunan saraf pusat. Aktivasi sistem simpatik teregulasi secaraberlebihan pada pasien hemodialisis (Koomans et al., 2004). Selain itu, obat ini menghambat pelepasan renin dari ginjal, sehingga dapat mengurangi pembentukan angiotensin II dan sekresi aldosteron. Efek kardioprotektif antihipertensi ini sangat menguntungkan mengingat pasien hemodialisis umumnya mengalami komorbiditas gangguan jantung. Pasien dengan penyakit penyerta berupa miokard infark akan mendapat keuntungan daripenggunaan antihipertensi ini. Beberapa efek samping dari β blokers adalah gangguan lipid serum dengan menurunnya lipoprotein HDL dan meningkatnya trigliserida plasma sertaterjadinya rebound hipertensi jika penghentian obat ini dilakukan secara mendadak (Mycek, 2001). β blokers juga sering dikaitkan dengan risiko hipotensi selamahemodialisis karena mekanisme kerjanya yang menyebabkan laju jantung melambat serta kontraindikasinya terhadap pasien dengan edema pulmoner dan asma (jika yang digunakan non selektif β blokers). Hypoglycemia masking-effect juga merupakan efek samping yang sudah dikenal pada populasi diabetes melitus,karena β blokers seperti propanolol akan menghambat Pasien  penyaki ginjal kronik mengalami retensi insulin, sehinggadengan adanya penambahan β blokers ancaman hipoglikemi dikhawatirkan akan terjadi. Obat-obat yang termasuk golongan β blokers ada yang terdialisis secara ekstensif maupun moderat sehingga efikasi efek antihipertensinya perlu diawasi (Koomans et al., 2004).

0 komentar:

Posting Komentar